Monday, February 23, 2009

Tubuh Perempuan di Wilayah Konflik

Di Kota Ambon, tak kurang dari 150 perempuan mengalami kehamilan tidak diinginkan di masa darurat militer di Maluku saat konflik berlangsung. Data tersebut di dapat dari sebuah LSM bernama Vrouwen voor Vrede (perempuan untuk perdamaian) dan telah dilansir oleh Parlemen Belanda saat berkunjung ke Maluku di penghujung tahun 2004 lalu. Menanggapi situasi tersebut dari konfirmasi yang didapatkan justru keluar peryataan yang mempekeruh keadaan,

“Kalau perbuatan itu atas dasar suka sama suka ya jangan minta pemerintah untuk mengatasinya.”

Begitupula di Poso, pada saat konflik tubuh perempuan memiliki kisah yang hampir sama. Bahwa tahun 2002, ada sekitar 45 perempuan yang ditinggalkan begitu saja oleh anggota militer dalam keadaan hamil. Angka tersebut baru yang teridentifikasi, belum lagi jumlah lain yang enggan melapor karena merasa aib tak boleh terdengar. Sama halnya dengan kasus Ambon, pemerintah di Poso juga tidak berbuat apa-apa.

Tubuh dan seksualitas perempuan menjadi suatu yang sering digunakan sebagai ‘alat’, baik di wilayah konflik, keadaan pasca bencana alam, perdagangan perempuan dan lain sebagainya. Tercatat misalnya di wilayah yang rentan konflik seperti Ambon, Poso, Kalimantan juga Aceh, mempunyai pengaruh yang besar bagi kondisi perempuan. Berkaitan dengan seksualitas perempuan di wilayah konflik, baik saat terjadinya konflik sampai pasca konflik seperti di tempat pengungsian, kerentanan ganda ada di pihak perempuan. Kekerasan terhadap perempuan seperti perkosaan, pelecehan bagi kelompok yang berkuasa dalam situasi konflik adalah sebuah bentuk yang lazim terjadi dan terjadi secara luas tetapi jarang dilaporkan, karena jika dilaporkan, kemungkinan yang terbesar adalah penyangkaalan dari pihak penguasa.

Penyangkalan terhadap kekerasan terhadap perempuan terjadi karena dianggap sebagai pelanggaran pribadi, bukan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Sementara itu, isu

1 / 4


Tubuh Perempuan di Wilayah Konflik

Written by Sofia Kartika

Monday, 23 February 2009 12:54 -

seksualitas perempuan menjadi alat yang ampuh untuk menunjukan kekuasaan si penguasa terhadap kelompok yang lemah. Di Maluku misalnya, kekerasan terhadap perempuan secara seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual, meraba, incest atau istilah-istilah yang diberikan kepada perempuan seperti ‘koramil’ (korban rayuan militer) dipermalukan dengan isu keperawanan, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Tubuh perempuan bagai diperebutkan

di atas kekuasaan yang berlangsung dan untuk itu seksualitas perempuan digunakan sebagai alat penghancur komunitas lainnya, hal yang terjadi karena seksualitas perempuan dianggap sebagai:

- Simbol pembangkit semangat dan moralitas komunitas

- Simbol kemurnian komunitas

- Tameng politik komunitas, misalnya kasus ‘koramil’ dimana terdapat indikasi kuat adanya manipulasi figur dan kekuasaan militer sebagai pelindung dan dorongan dari komunitas untuk memperoleh perlindungan dengan menggunakan tubuh perempuaan.

Pola-pola kekerasan terhadap perempuan pun terjadi di Poso, misalnya saat konflik Poso tahun

2001, seperti yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan terjadi penelanjangan ratusan perempuan, hanya 9 yang melapor ke polisi, tidak ada penyelesaiannya sampai saat ini. Selain itu, selama konflik, perempuan mengalami kekerasan lainnya, seperti penembakan, pembunuhan misterius, perkosaan dan lain sebagainya.

Dalam kondisi konflik fisik ataupun peperangan, semuanya berimbas pada efek psikologis. Sudut pandang aparat atau pemerintah terhadap kekerasan terhadap perempuan adalah suatu hal yang lazim terjadi dan tidak bisa terhindarkan dimana hal ini didukung hukum yang menjamin amnessti terhadap pelaku sebagai bagian dari peace making deals, dan dikuatkan dengan sikap masa bodoh masyarakat terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Di lain pihak, rasa malu, takut, ketergantungan ekonomi pada satu pihak (laki-laki misalnya), membuat tak banyak perempuan yang mengalami kasus kekerasan di wilayah konflik bersedia mengungkapkan apa yang mereka alami. Stigma-stigma terhadap korban

2 / 4


Tubuh Perempuan di Wilayah Konflik

Written by Sofia Kartika

Monday, 23 February 2009 12:54 -

kekerasan juga merupakan kendala dalam mengungkap kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.

Pandangan budaya tradisional yang masih diselubungi partriarki, bahwa perempuan adalah hak milik, baik itu dalam konteks orang tua terhadap anak perempuan, suami terhadap istri dan secara luas: laki-laki terhadap perempuan serta perempuan adalah obyek seksual yang kemudian menyulut terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik itu di wilayah konflik maupun bukan. Di sisi lain, sejak lama perempuan diberi peran sebagai seorang ibu, penerus budaya dan sebagai simbol bangsa atau simbol komunitas. Logika simbol dan penerus bangsa tersebut, seringkali digunakan untuk merusak nama komunitas lainnya yang dilanda konflik.

Oleh karena itu kekerasan yang ditujukan kepada peerempuan dianggap sebagai serangan terhadap nilai-nilai atau kehormatan suatu masyarakat atau kelompok komunitas tertentu. Kekerasan terhadap perempuan misalnya, dianggap berpotensi sebagai alat untuk memicu konflik. Bahkaan untuk menghabiskan ras di suatu komunitas serta memunculkan komunitas baru, strategi utamanya dengan cara perkosaan.

Dalam Statuta Roma, perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya dinyatakan sebagai kejahatan perang. Apabila perkosaan dan kekerasan seksual dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tidak hanya dalam situasi sedang berlangssungnya konflik, pada pasca konflik, seperti dalam pengungsian, perempuan juga rentan terhadap sasaran kekerasan seksual. Mereka rentan menjaddi korban perkosaan dan kekerasan seksual yang dilakukan misalnya oleh para petugas

3 / 4


Tubuh Perempuan di Wilayah Konflik

Written by Sofia Kartika

Monday, 23 February 2009 12:54 -

keamanan, pengawal perbatasan, penduduk lokal, penyelundup atau sesama pengungsi. Tempat perlindungan dan orang atau lembaga yang ingin menjadi tempat berlindung justru menjadi bumerang bagi perempuan.

Contoh diatas adalah sebagian kecil kisah yang terjadi di Indonesia. Di negara yang sedang terlibat konflik seperti Uganda, The Lord’s Resistance Army (LRA) menculik anak perempuan dan memaksa mereka untuk kawin dan diperkosa secara institusional. Laki-laki ‘diberi’ perempuan sebagai hadiah atas ‘kelakuannya yang baik’. Sementara itu di Sierra Leone, penculikan, perkosaan, dan perbudakan seksual dilakukan secara meluas dan sistematis. Korban perkosaan kerap sangat menderita karena tindakan brutal yang sangat ekstrem terhadap organ reproduksinya.

Tubuh dan seksualitas perempuan, dihujat dan diinginkan, bahkan dalam siatusi konflik sekalipun. Penggunaan tubuh perempuan dalam situasi konflik adalah cerminan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari di luar terjidinya konflik. Negara tentu saja memiliki kewajiban untuk memberikan rasa aman dan nyaman terhadap masyarakat khususnya kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Tentu saja selain diperlukan kebijakan pembangunan yang berperspektif gender, sistem hukum pun juga harus demikian dalam menganalisa persoalan kekerasan terhadap perempuan.

(Sumber: Perkosaan Di Wilayah Konflik, Bukan Kecelakaan Akibat Perang, Kompas 2004, ww

w.jurnalperempuan.com

, dan Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan, Komnas Perempuan, 2004)

4 / 4

No comments: